Kementerian Pertanian menggagas teknologi nano-nano. Ini teknologi terbarukan, efektif dan efisien untuk meningkatkan produksi. Kehebatan lainnya, teknologi ini ramah lingkungan. Di tengah petani yang sudah terjerat pupuk kimia, memang teknologi nano adalah jawaban.

Namun nano yang kecil ini tidak seperti bukunya FE Sumacher, pakar lingkungan yang karyanya pernah best seller di Indonesia, The Small Is Beautiful. Nano yang ini ruwet dan njelimet. Itu karena realitas yang ada, pupuk dan distribusi untuk produk pertanian di negara ini tidak pernah sepi dari masalah.

Pupuk membanjir di kala tidak dibutuhkan. Pupuk menghilang saat petani membutuhkan. Selain irigasi yang semakin amburadul, penyuluh pertanian yang sudah jarang berada di sawah bersama petani, ditambah Koperasi Unit Desa (KUD) yang kini profit oriented, yang penting untung, adalah seabreg masalah yang seharusnya tidak bermasalah.

Banyaknya masalah itu membuat wacana penerapan teknologi nano-nano ke depan dipenuhi curiga dan syak-wasangka. Teknologi nano-nano dianggap sebagai liberalisasi pertanian yang berorinetasi bisnis yang akan dimenangkan perusahaan raksasa. Asingisasi yang menciptakan ketergantungan lagi pada asing, selain tentu, akan tersengal-sengal dalam pendistribusian ke sentra yang membutuhkan (petani).

Pesimisme itu tak berlebihan. Sebab sejauh ini petani selalu ditempatkan sebagai obyek penderita. Dari pola tanam organik dipaksa memasuki ranah pupuk kimia yang mengeraskan tanah kehilangan hara saat Orde Baru. Terus berlanjut pada orde-orde berikutnya, menyebabkan petani bukan lagi profesi yang menyenangkan, dan pertanian kehilangan prospektifitasnya.

Berbagai sebab itulah yang mengakibatkan petani kehilangan generasi penerusnya. Kini tidak ada anak muda yang bercita-cita sebagai petani. Mereka lebih suka jadi buruh pabrik daripada bertani. Itu karena bertani selain tidak punya masa depan, bertani juga tidak menguntungkan. Cukup untuk beli sarana produksi (saprotan) dan sedikit untuk makan sudah bersyukur. Tak sedikit petani yang justru merugi dari hasil pertaniannya.

Subsidi yang digembar-gemborkan pemerintah tak jelas larinya kemana. Alokasi anggaran yang kecil di APBN kian mengecilkan tetesan untuk kebutuhan petani. Subsidi itu banyak yang diselewengkan, dipat-gulipatkan realisasinya, sisi lain para pemimpin negeri ini berteriak-teriak penuh optimisme, bahwa dia sudah berbuat banyak untuk petani, untuk kemakmuran dan kesejahteraan mereka, dengan pemampangan data, yang entah diambil dari mana.

Era baru globalisasi kian menjepit petani. Di dalam negeri yang dijajah oknum pemerintahnya belum terbenahi, kini mereka harus bersaing secara global. Di berbagai negara petani mendapat subsidi besar sehingga mendapatkan keberlimpahan dan ekspor, di Indonesia petaninya masih diperlakukan sama, dijepit kiri-kanan tanpa perlindungan.

Malah yang tragis, regulasi yang dihasilkan rakyat juga tidak berpihak pada rakyat. Banyak aturan itu justru menista rakyat. Lihat yang dialami Sukoco, petani dari Gampengrejo, Kediri, yang terpenjara tujuh bulan hanya karena dia kreatif, melakukan pemuliaan tanaman jagung.

Kenapa bisa begitu? Itu karena UU itu lahir juga tanpa transaksional. Ada sponsor yang bertindak sebagai pengawal. Mereka telah punya skenario gelap akan hadirnya UU baru. Dan jika UU itu lahir, maka hakekatnya UU itu bukan untuk kebaikan rakyat, tetapi untuk kebaikan para cukong, pebisnis, yang jauh-jauh hari telah melakukan ‘investasi’.

Bobroknya berbagai sektor itu yang menyebabkan berbiaknya negatif thinking menyambut wacana kehadiran teknologi nano yang sedang digagas.  Rasionalisasinya, yang sederhana-sederhana saja tidak bisa dikerjakan, apalagi yang sulit dan rumit, belum teruji dan belum disosialisasikan pada petani yang sudah terlanjur curiga dengan berbagai program pemerintah.

Teknologi nano mungkin baik. Namun adakah baik jika kebaikan itu hanya sekadar untuk dibicarakan dan tidak bisa diaplikasikan karena tidak terdistribusi akibat mental aparatnya? Ini belum kalau embrio teknologi nano ini bermotif bisnis. Djoko Su’ud Sukahar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.